BERITA BERITA PEMBAWA KONFLIK DAN PENEBAR KERENGANGAN UMAT BERAGAMA - Alasan Mengapa Warga Keturunan Cina Cenderung Memisahkan Diri
<<< Download Ini Dan Bagikan Segera orang orang ini sungguh memalukan >>>
https://drive.google.com/file/d/0B-R_rC7_q3IicllPcE9ZQ1VrSlU/view?usp=sharing
https://drive.google.com/file/d/0B-R_rC7_q3IicllPcE9ZQ1VrSlU/view?usp=sharing
Alasan Mengapa Warga Keturunan Cina Cenderung Memisahkan Diri
Opini Bangsa - Masyarakat peranakan Cina sudah memiliki sejarah panjang di Indonesia. Mengutip Rafles dalam History of Java sejarawan Denys Lombard menulis sekitar 1812 sudah ada 94 ribu orang Cina di Jawa. Saat sensus dilakukan Pemerintah Hindia Belanda pada 1905, ada sekitar 295 ribu jiwa untuk di Pulau Jawa sendiri. Dan sekitar 593 ribu jiwa di seluruh Hindia Belanda.
Menurut Lombard, para peranakan ini kurang cepat membaur dan lama mempertahankan adat kebiasaan negeri asal mereka. Jumlahnya mereka cukup besar dan hidup berkelompok. Terpisah dari masyarakat dari luar mereka.
Sekitar 1900-an banyak perempuan Cina yang juga dikirim ke Hindia Belanda. Sehingga perkawinan campuran makin jarang terjadi. Dalam Nusa Jawa: Silang Budaya jilid II, Lombard mengatakan, anak-anak mereka dididik dengan cara Cina dan bahasa ibu mereka dialek yang dipakai keluarga 'Hakka'. Dan begitu mereka masuk sekolah yang pertama kali diajarkan ialah bahasa Mandarin.
"Sedikit demi sedikit berkembang suatu perasaan kebanggan budaya dan yang kita saksikan seakan-akan ialah terjadinya suatu 'pencinaan kembali' dalam golongan-golongan masyarakat yang sudah lama di Nusantara," tulis Lombard dalam buku yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama tersebut.
Namun, jauh sebelum "pencinaan kembali" perantau Cina sudah banyak tinggal di pesisir Jawa. Seorang penerjemah dokumen asing Kaisar Ming sudah menemukan perantauan Cina di pesisir Jawa. Pada 1413, ada 57 kapal yang di antaranya memiliki panjang 60 meter berlabuh di Nanjing, ibu kota kekasiaran. Kapal-kapal tersebut akan menyusurui Sungai Yangtze menuju Laut Kuning.
Penerjemah dokumen asing Ma Huan menjadi salah satu penumpang dari kapal-kapal tersebut. Ia seorang Muslim serta mampu berbicara dan membaca tulisan Arab. Ma Huan berasal dari kota beberapa mil selatan Hangzhou, sebuah pelabuhan utama perdagangan masa itu. Ma Huang bukan seorang tokoh atau bangsawan, kemungkinan ia hanya seorang pejabat rendahan.
Memoar perjalanan Ma Huan ke Asia Tenggara diterjemahkan JVG Mills dengan judul Ying-Yai-Sheng-Lan: The Overall survey of the ocean shores. Buku ini diterbitkan Cambridge University Press pada 1970.
Asimilasi Panjang Warga Cina Merantau di Indonesia
Steward Gordon dalam buku When Asia was The World mengungkapkan, pada zaman Ma Huan, Cina memang sudah melakukan perdagangan di Asia Tenggara sampai India. Pada 1413 sampai 1415 Ma Huan berlayar ke selatan dan barat Cina lalu mengarah ke Samudra Hindia. Di pesisir Jawalah pertama kalinya Ma Huan bertemu dengan komunitas orang Cina perantau.
"Tupan... adalah nama sebuah distrik. Di sini terdapat lebih dari seribu keluarga, dengan dua lelaki yang mengepalai mereka. Banyak warga di sana yang berasal dari provinsi (Guangdong)" tulis Ma Huan.
Di Jawa, Ma Huan mengamati pola umum kehidupan di kota-kota pelabuhan tersebut. Ma Huan terkesan dengan kesenian setempat. Ia melihat seseorang yang membuat lukisan manusia, burung, hewan di atas kertas.
Selama melukis orang itu membuka gulungan kertas, mendorongnya ke arah orang-orang yang sedang menonton sambil menyampaikan sebuah kisah. Ketertarikan perantau Cina terhadap tradisi lokal juga menyerap ke peranakan.
Denys Lombard mencatat, pada 1740 menandai perubahan zaman. Masyarakat Cina porak-poranda serta bingung dan muncullah kembali kecenderungan untuk menganut agama Islam. Kaum peranakan membangun masjid mereka sendiri, dan terdapat beberapa contoh makam Muslim yang nisannya bertuliskan huruf Cina.
Menurut Lombard, perubahan agama menjadi kenyataan keluarga-keluarga pembesar Cina menerima kebudayaan Jawa dan senang mengoleksi topeng serta wayang kulit. Pada abad ke-17 dan 18 pun jarang dibangun kelenteng luar Batavia. Pada abad-abad tersebut hanya ada satu kelenteng di Banten, satu di Cirebon, tiga di Semarang, satu di Makassar dan 13 di Batavia.
Namun, keadaan ini berubah dratis, kata Lombard, pada paruh kedua abad ke-19. Lombard menjabarkan penyebab adanya perubahan dalam proses asimilasi tersebut. Pertama, karena pertanian yang mandek di Cina pada akhir kekuasaan Dinasti Qing. Hal ini mengakibatkan tidak mencukupinya makanan bagi penduduk.
Sementara, di Hindia Belanda wilayah baru terus dibuka dan memerlukan tenaga kerja yang banyak. Maka emigrasi kuli pertama yakni eksploitasi tambang-tambang emas di Borneo oleh bangsa Hakka. Mereka dibawa dan dikendalikan orang-orang Barat.
Perantau Cina yang sebelumnya hanya berjumlah 100 ribu jiwa di Jawa membengkak menjadi 500 ribu jiwa menjelang abad ke-19. Karena mendadak jumlahnya banyak dibayar murah dan tidak diterima baik oleh masyarakat, para perantau tidak punya pilihan lain selain bergabung dan membuat jaringan.
"Dengan demikian kelenteng yang tumbuh berpuluh-puluh selama beberapa dasawarsa (terutama selama masa Guangxu, 1875-1908) berfungsi sebagai lambang identitas budaya dan merangkap sebagai tempat pertemuan atau klub," tulis Lombard. [opinibangsa.com / rci]
Alasan Mengapa Warga Keturunan Cina Cenderung Memisahkan Diri = Dipostkan Oleh noreply@blogger.com (Opini Bangsa) - Pada January 31, 2017 at 11:20AM - DOWNLOAD EXPORT BLOG POSISI 6 JAN >
OPINIBANGSA ATAU APALAH ITU, asal Kalau yang nyebar dari facebook beritaislam24h berarti ini adalah beritaislam24h yang mati mulai tanggal 13 Jan, masih hidup tapi hiatus.. PEMERINTAH HARUS SIKAT orangnya - jangan medianya
0 Response to "Alasan Mengapa Warga Keturunan Cina Cenderung Memisahkan Diri - BeritaIslam24 = OpiniBangsa"
Post a Comment
Silakan gunakan sebagai Backlink dan silahkan gunakan untuk mengisi komentar sesuka anda, karena blog ini dipastikan tidak akan saya urusin, jangan lupa download dan sebarkan pdf untuk stop isu isu yang ada, dan sebagai ganjaran silahkan posting di komentar, link aktif boleh.