Saat itu, ia berkata bahwa kaum konservatif yang mengutip ayat Al-Quran untuk menyatakan orang Kristen tidak boleh menjadi pemimpin tidaklah berkata jujur. Ucapnya: “Kan bisa saja dalam hati kecil bapak ibu nggak bisa pilih saya. Karena dibohongin pakai surat Al Maidah 51 macem-macem gitu lho. Itu hak bapak ibu, ya.” (Transkrip dan video pidatonya yang diedit dan dipelintir ucapannya kemudian menjadi viral dan turut memanasi kemarahan publik.)
Selama dua bulan terakhir, Front Pembela Islam (FPI) dan kelompok garis keras Islam lainnya memimpin tiga demo masif yang melumpuhkan pusat kota Jakarta. Mereka menuntut Gubernur Ahok untuk dipenjara dan bekas atasannya, Presiden Joko “Jokowi” Widodo, untuk diturunkan dari jabatannya. (Partai Jokowi, PDI-P, mendukung Ahok di pemilihan gubernur tahun depan.) Pada tanggal 2 Desember, Jokowi malah ikut menghadiri sholat dengan para demonstran — keputusan ini membantu menurunkan tekanan politik yang ditujukan kepada dirinya tapi juga beresiko memberikan legitimasi ke sentimen anti Ahok dan anti Tionghoa. “The Politics of Mobocracy,” begitu judul sampul majalah Tempo English minggu lalu yang ditulis di atas foto demo besar-besaran tersebut.”
Di akhir tulisannya Time menulis : “Pengadilan Ahok, seperti judicial review di MK, adalah ujian atas komitmen Indonesia terhadap prinsipnya sebagai negara yang sekuler, inklusif dan toleran. Sejauh ini, Indonesia gagal dalam test ini.”
BBC hampir sama dengan Time. Situs BBC, 13 Desember 2016 menulis: “Rights groups say the authorities have set a dangerous precedent in which a noisy hardline Islamic minority can influence the legal process, says the BBC's Rebecca Henschke in Jakarta.
In the streets outside court, hundreds of demonstrators, mostly men, gathered to protest. "Jail Governor Ahok now," they chanted. They punched their fists in the air and shouted: "We must defend Islam from those who insult the holy book."
It was a much smaller crowd than the huge demonstrations in Jakarta in recent weeks, but the anger remained the same. From a lorry, Islamic hard-line leaders made provocative speeches calling the governor a pig, and the crowd laughed when they mocked his Chinese appearance. One speaker turned to police officers standing guard and warned them that if Governor Ahok were not jailed, they would take matters into their own hands.” (Kelompok-kelompok HAM mengatakan pihak berwenang telah menetapkan preseden yang berbahaya di mana minoritas Islam garis keras bising dapat mempengaruhi proses hukum, kata wartawan BBC Rebecca Henschke di Jakarta.
Di jalan-jalan di luar pengadilan, ratusan demonstran, kebanyakan laki-laki, berkumpul untuk memprotes. "Penjara Gubernur Ahok sekarang," teriak mereka. Mereka meninju tinju mereka di udara dan berteriak: ". Kita harus membela Islam dari orang-orang yang menghina kitab suci."
Itu kerumunan jauh lebih kecil daripada demonstrasi besar di Jakarta dalam beberapa pekan terakhir, namun kemarahan tetap sama. Dari sebuah truk, pemimpin garis keras Islam berpidato provokatif memanggil gubernur babi, dan kerumunan tertawa ketika mereka mengejek penampilan Cina-nya. Salah satu pembicara berpaling ke polisi penjaga berdiri dan memperingatkan mereka bahwa jika Gubernur Ahok tidak dipenjara, mereka akan mengambil masalah ke tangan mereka sendiri.”)
Situs CNN tak jauh beda. Terkait aksi 2 Desember 2016, CNN hanya menyebut jumlah yang demo 200 ribu. “Indonesia: 200,000 protest Christian governor of Jakarta,”judul tulisan kantor berita terbesar di dunia ini.
CNN juga menuduh bahwa Islam garis keras yang menentang Ahok. “An ethnic Chinese Christian, Ahok is currently under investigation by Indonesian police over a speech he gave in which hardline Islamists claim he insulted the Quran (Seorang Kristen beretnis Cina, Ahok saat ini sedang diselidiki polisi Indonesia karena pidatonya yang menurut kaum Islam garis keras ia telah menghina Al Qur’an),”kata CNN.
Sementara itu, VOA menganalisa agar presiden Jokowi hati-hati dengan munculnya Islam Politik di negeri ini. Tindakan presiden hadir dalam aksi 212 itu, hanya menguntungkan Jokowi dalam jangka pendek.
"(Presiden) Jokowi mungkin memiliki keuntungan taktis dalam jangka pendek. Namun pada jangka panjang, Jokowi, pemerintahannya dan polisi telah memainkan permainan yang berbahaya. Akibatnya, Islam politik telah dikooptasi oleh kelompok garis keras dan Muslim yang progresif telah dipinggirkan," ujar Tobias Basuki, analis di Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta.
***
Herri Cahyadi, Mahasiswa Doktoral Hubungan Internasional Istanbul University, menyoroti bahwa media Barat seringkali melakukan stereotype terhadap isu-isu Keislaman di tanah air. Menurutnya ada beberapa langkah penulisan mereka:
1) Anarkis. Seluruh aspek acara dalam aksi akan berujung kepada anarkisme bahkan semenjak acara tersebut belum dilangsungkan. Dalam Aksi Damai 411 atau 212, misalnya, media-media ini akan berupaya mem-framing bahwa:
a) Sebelum acara diadakan: diprediksi akan rusuh, ada upaya pelengseran Presiden, peringatan untuk tidak mendekat, serta polisi dan tentara disiapkan untuk mencegah anarkisme.
b) Selama acara berlangsung: sudut-sudut kecil dari acara akan digunakan sebagai frame anarki seperti taman yang terinjak, sampah berserakan, wajah gahar pendemo yang sedang teriak, pendemo yang membawa tongkat bendera. Media-media ini mendapatkan momentum saat kerusuhan kecil pecah di malam hari jelang peserta bubar.
c) Sesudah acara berlangsung, framing masih tetap sama, tapi dengan gaya bahasa yang seolah mengapresiasi seperti The Washington Post yang memberi judul “Indonesia Blasphemy Protest Draws 200,000; Ends Peacefully”. Uniknya, media-media nasional justru menggiring isu ini berbarengan dengan upaya makar.
2) Kelompok radikal. Memaksa pembaca agar percaya bahwa aktivitas keislaman yang menonjol dan membawa isu besar selalu ditunggangi oleh kelompok garis keras. Mereka sering menggunakan terminologi conservative Muslims, hardline, far-right parties, radical, dan sebagainya. Media ini tidak pernah bisa move on dari labeling terhadap umat Islam.
Labeling adalah salah satu cara untuk mengotakan masyarakat dalam kelompok-kelompok. Mungkin umat Islam adalah kelompok masyarakat di dunia yang paling banyak memiliki label; radikal, fundamental, ekstremis, garis keras, konservatif, moderat, bla bla bla. Ada lagi?
3) Intoleran. Buzzer media sosial dengan enteng menyebarkan isu Aksi Damai 411 dan 212 seolah memecah-belah bangsa, merusak kebinekaan, dan anti-Pancasila. Ini adalah isu paling absurd yang disebar oleh mereka yang justru ingin memecah-belah bangsa.
Walhasil, media di Barat maupun di tanah air, tidak ada yang netral. Semua berpihak, tergantung ideologi dan pengalaman yang dimiliki redaksinya. Di tanah air, kini jutaan aktivis Bela Islam sedang ramai-ramai memboikot MetroTV dan Kompas. Mereka melihat dua media ini pendukung berat Ahok dan sering tidak obyektif dalam meliput berita. Wallahu alimun hakim.
[Nuim Hidayat]
from ISLAM NEWS http://www.1slam-news.gq/2017/01/tanggapan-media-barat-terhadap-aksi.html
0 Response to "Tanggapan Media Barat terhadap Aksi Bela Islam - Konsistensi Muslim"
Post a Comment
Silakan gunakan sebagai Backlink dan silahkan gunakan untuk mengisi komentar sesuka anda, karena blog ini dipastikan tidak akan saya urusin, jangan lupa download dan sebarkan pdf untuk stop isu isu yang ada, dan sebagai ganjaran silahkan posting di komentar, link aktif boleh.